1.
Coto
Makassar
Sesuai dengan namanya Coto Makassar adalah hidangan
berkuah yang berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan. Di setiap jalan di kota
Makassar, dapat dengan mudah ditemukan warung-warung yang menyediakan Coto
Makassar. Rasa hidangan ini di setiap warung memang hampir-hampir sama, tapi
yang membuat berbeda adalah bumbu tambahan yang diberikan oleh masing-masing
pedagangnya. Dan itu menjadi rahasia dapur masing-masing.
Coto Makassar berbahan dasar daging sapi, ditambah
dengan jeroan sapi, berupa paru, hati, usus, jantung, dan babat. Sementara
bumbu kuahnya merupakan perpaduan sejumlah rempah-rempah dan gilingan kacang
tanah yang sudah digoreng. Enak tidaknya hidangan ini memang sangat bergantung
pada bumbu kuahnya.
Ramuan rempah-rempah yang terdiri dari 40 jenis
dimasak di kuali tanah liat yang disebut dengan korong butta atau uring butta.
Jenis kuali yang digunakan untuk memasak dipercaya ikut juga mempengaruhi rasa
Coto Makassar. 40 jenis rempah itu diantaranya adalah kacang tanah, kemiri,
cengkeh, pala, serai yang ditumbuk halus, lengkuas, merica, bawang merah,
bawang putih, jintan, ketumbar merah, ketumbar putih, jahe, laos, daun jeruk
purut, daun salam, daun kunyit, daun bawang, daun seledri, lombok merah, lombok
hijau, gula talla, asam, kayu manis, garam, pepaya muda untuk melembutkan
daging, dan kapur untuk membersihkan jerohan. Konon rempah-rempah itu tidak
hanya berguna untuk menentukan rasa Coto Makassar, tetapi juga sebagai penawar
kolesterol yang ada di jeroan.
Coto Makassar biasa disantap dengan ketupat atau
burasa, dan dilengkapi dengan sambal taoco. Penggunaan taoco ini memperkuat
dugaan kalau makanan ini dipengaruhi oleh makanan Cina yang sudah dikenal pada
abad ke-16. Diduga juga kalau Coto Makassar sudah ada sejak Somba Opu, pusat
Kerajaan Gowa, yang pernah berjaya pada tahun 1538.
Di tempat asalnya, Coto Makassar disajikan dengan
harga yang beragam, berkisar antara Rp 3.500 hingga Rp 7.000 per porsi.
(source : https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/coto-makassar)
2.
Pallubasa
Konon awal mula
makanan berkuah yang dicampur kelapa parut goreng ini hanya diperuntukkan untuk
kelas pekerja seperti kuli bangunan, tukang becak, dan kelas pekerja lainnya.
Mengapa
demikian, karena pada masa itu Pallubasa merupakan makanan termurah yang hanya
dapat dijangkau para kelas pekerja
Dari catatan
sejarah 10 ikon Makassar di Dinas Pariwisata Makassar, alasan sehingga
Pallubasa menjadi makanan murah karena campuran isi atau daging yang ada di
dalam setiap mangkuknya itu bagian yang tidak dibutuhkan oleh pemilik sapi
tetapi diberikan kepada si pemotong sapi sebagai jatah atau upah (tawana
papolonga).
Bagian-bagian
sapi yang tidak dibutuhkan antara lain bakal susu (kandala’po’, bentuk bakal
susu yang ketika diangkat dari dandang bentuknya seperti asap knalpot), baluta
(darah segar sapi saat disembelih yang ditadah menggunakan batang bambu yang
kemudian dibekukan), susu sapi (payudara sapi), biji pelir sapi, usus lurus
(parru’ lambusu’), Latto-latto’ (bagian da-ging yang bercampur dengan tulang
rawan) dan gantungan jantung.
Papolong inilah
yang kemudian mengolah sisa-sisa tersebut menjadi makanan yang disebut
Pallubasa.
Kabid Destinasi
Dinas Pariwisata Makassar, Andi Karunrung mengatakan Pallubasa merupakan
makanan berkuah yang sepintas terlihat sama dengan coto Makassar. Namun
keduanya sangat berbeda.
Letak
perbedaannya terdapat pada proses memasaknya. Jeroan untuk Pallubasa direbus
dalam waktu yang lama. Setelah matang, jeroan dan daging diiris dan dihidangkan
dalam mangkuk.
Perbedaan
lainnya pada kuah Pallubasa ditambahkan kelapa parut yang telah disangrai
sehingga kuahnya menjadi kental dan gurih, aromanya pun karena santan lebih
kental dan serbuk kelapa yang menyatu dengan kuah.
Tambahan lain
yang membuat Pallubasa lebih spesial adalah dengan ditambahkan-nya telur ayam
yang dimasak setengah matang.
Awalnya
Pallubasa disantap berpasangan dengan burasa yang berukuran cukup besar,
kira-kira berukuran 3-4 kali lipat dengan ukuran burasa sekarang. Namun saat
ini, Pallubasa akan terasa pas jika disajikan dengan nasi putih yang masih
panas.
(soure : http://makassar.tribunnews.com/2017/10/03/serupa-coto-tapi-beda-ini-cerita-di-balik-pallubasa)
No comments:
Post a Comment